Rabu, 10 Mei 2017

Pahala untuk Surga yang Tak Dirindukan

 Pahala untuk Surga yang Tak Dirindukan

Dulu di masa kecil saya, setiap selesai adzan selalu dilantunkan syair puji-pujian, kebetulan bagian yang paling saya ingat adalah...."mugi-mugi Gusti Allah ngijabahi" atau "mugi-mugi Gusti Allah nyembadani".
Kemudian saya mencoba memahami bahwa dua susunan kata tersebut sebagai sebuah konsep penanaman nilai yang sangat cerdas untuk menjawab teori uncertainty (ketidakpastian) dan memberi tantangan pada konsep keimanan.
Bahwa pahala ibadah/kebaikan apapun adalah di luar nalar manusia, kita hanya dapat berharap pada sang Maha Pemberi Pahala. Hal itu memberi kita motivasi untuk terus beribadah/berbuat baik karena kita tidak pernah tahu wujud dan kompleksitas pahala. Ibadah/kebaikan menjadi continue/terus-menerus berlandaskan iman (percaya), menurut saya inilah ujian keimanan sebenarnya.
Saat ini, muncul beberapa orang yang kemudian berlagak Gusti Allah, mampu menggaransi pahala bahkan autosurga untuk satu, sedikit atau beberapa ibadah/kebaikan bahkan memainkan simbol. Hal inilah yang menurut saya menyebabkan ibadah/kebaikan menjadi discontinue....lha wong sudah ada garansi dari yang katanya "Gusti Allah" di dunia. Tidak ada ketidakpastian, tidak ada yang woowww, tidak ada unsur kejutan, serasa ada yang hilang dari yang namanya ujian keimanan. Lha wong Rasulullah SAW yang sudah digaransi langsung masuk surga, langsung oleh Gusti Allah saja (cermati baik-baik, "langsung"-nya aja dobel), ibadah dan perbuatan baiknya sangat luar biasa. Lha ini cuman digaransi katanya "Gusti Allah" dan yang berkata sama-sama manusia saja kok ya sudah seakan-akan pegang kunci surga terus koar-koar kalo yang ini atau yang itu tidak masuk surga, kayak sudah dapat SK dari Gusti Allah aja kalau terpilih jadi pansel penghuni surga.....( tapi kalau ternyata ada yang sudah punya SK-nya, tolong share ya, jangan malu-malu.....sori lho teniiinnnn)
Ketika tebal tipisnya iman, disusun sebagai kriteria dan indikator trus dikoar-koarkan seakan dapat diukur seperti mengukur tebal tipisnya kampas truk. Kemudian ibadah/kebaikan seakan hanyalah media transaksi dengan Gusti Allah, kalau kehilangan sesuatu dikatakan kurang zakatnya, kalau tidak mendapatkan sesuatu dikatakan kurang sedekahnya. Seakan-akan Gusti Allah itu dzat yang sekedar perlu dizakati, perlu disedekahi agar mau menjadi/memberi apapun yang kita mau.
Catatan :
*Terinspirasi liar dari epistemic uncertainty dan linguistic uncertainty dalam risk and decision for conservation and environmental management.....sebenarnya lagi bingung "kebaikan adalah konservasi atau konservasi adalah kebaikan"..........
#pembundetruwetan #surgayangtakdirindukan