Rabu, 10 Mei 2017

Pahala untuk Surga yang Tak Dirindukan

 Pahala untuk Surga yang Tak Dirindukan

Dulu di masa kecil saya, setiap selesai adzan selalu dilantunkan syair puji-pujian, kebetulan bagian yang paling saya ingat adalah...."mugi-mugi Gusti Allah ngijabahi" atau "mugi-mugi Gusti Allah nyembadani".
Kemudian saya mencoba memahami bahwa dua susunan kata tersebut sebagai sebuah konsep penanaman nilai yang sangat cerdas untuk menjawab teori uncertainty (ketidakpastian) dan memberi tantangan pada konsep keimanan.
Bahwa pahala ibadah/kebaikan apapun adalah di luar nalar manusia, kita hanya dapat berharap pada sang Maha Pemberi Pahala. Hal itu memberi kita motivasi untuk terus beribadah/berbuat baik karena kita tidak pernah tahu wujud dan kompleksitas pahala. Ibadah/kebaikan menjadi continue/terus-menerus berlandaskan iman (percaya), menurut saya inilah ujian keimanan sebenarnya.
Saat ini, muncul beberapa orang yang kemudian berlagak Gusti Allah, mampu menggaransi pahala bahkan autosurga untuk satu, sedikit atau beberapa ibadah/kebaikan bahkan memainkan simbol. Hal inilah yang menurut saya menyebabkan ibadah/kebaikan menjadi discontinue....lha wong sudah ada garansi dari yang katanya "Gusti Allah" di dunia. Tidak ada ketidakpastian, tidak ada yang woowww, tidak ada unsur kejutan, serasa ada yang hilang dari yang namanya ujian keimanan. Lha wong Rasulullah SAW yang sudah digaransi langsung masuk surga, langsung oleh Gusti Allah saja (cermati baik-baik, "langsung"-nya aja dobel), ibadah dan perbuatan baiknya sangat luar biasa. Lha ini cuman digaransi katanya "Gusti Allah" dan yang berkata sama-sama manusia saja kok ya sudah seakan-akan pegang kunci surga terus koar-koar kalo yang ini atau yang itu tidak masuk surga, kayak sudah dapat SK dari Gusti Allah aja kalau terpilih jadi pansel penghuni surga.....( tapi kalau ternyata ada yang sudah punya SK-nya, tolong share ya, jangan malu-malu.....sori lho teniiinnnn)
Ketika tebal tipisnya iman, disusun sebagai kriteria dan indikator trus dikoar-koarkan seakan dapat diukur seperti mengukur tebal tipisnya kampas truk. Kemudian ibadah/kebaikan seakan hanyalah media transaksi dengan Gusti Allah, kalau kehilangan sesuatu dikatakan kurang zakatnya, kalau tidak mendapatkan sesuatu dikatakan kurang sedekahnya. Seakan-akan Gusti Allah itu dzat yang sekedar perlu dizakati, perlu disedekahi agar mau menjadi/memberi apapun yang kita mau.
Catatan :
*Terinspirasi liar dari epistemic uncertainty dan linguistic uncertainty dalam risk and decision for conservation and environmental management.....sebenarnya lagi bingung "kebaikan adalah konservasi atau konservasi adalah kebaikan"..........
#pembundetruwetan #surgayangtakdirindukan

Jumat, 17 Maret 2017

PAS dalam Formulasi Kebijakan Kehutanan dan Konservasi Alam

 Tugas Ujian Tengah Semester, Mata Kuliah Analisis Kebijakan dan Pembuatan Keputusan, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK), Sekolah Pascasarjana UGM


Nama               : M. Danang Anggoro
NIU                 : 13/354688/SKT/133


Membuat critical review untuk :
Nama Jurnal
:
Journal of Public Policy (32), 2, hal 79 – 98, © Cambridge University Press, 2012
Judul
:
Policy Formulation, Governance Shift and Policy Influence : Location and Content in Policy Advisory Systems
Author
:
Jonathan Craft (Departement of Political Science, Simon Fraser University, Canada)
Michael Howlett (Departement of Political Science, Simon Fraser University, Canada)

Craft dan Howlett (2012) dalam artikel ini mengungkapkan hasil kajian penilaian ciri-ciri model lokasional dibalik bukti pergeseran dalam pengaturan tata kelola yang tampak kabur baik di sisi dalam versus sisi luar dan dimensi teknis versus politis dalam lingkungan formulasi kebijakan. Argumentasi yang muncul bahwa perkembangan sumber-sumber masukan/pertimbangan (advisory) yang semakin beranekaragam (plural) dan polisentris berasosiasi dengan tantangan pergeseran tata kelola penggunaan di kedua sisi, baik isi yang tersirat dan dimensi lokasional dari model tradisional sistem masukan/pertimbangan kebijakan atau disebut sebagai policy advisory system (PAS). Pendekatan yang diperbarui lebih lanjut dalam kajian ini adalah temuan bahwa  produk dari isi masukan terhadap kebijakan lebih berpengaruh terhadap kebijakan itu sendiri daripada lokasi policy adviser-nya.
Dalam ulasan ini, mencoba untuk melakukan analisis terhadap wacana dalam artikel dari sisi argumentasi mengenai pluralitas sumber-sumber masukan/pertimbangan terkait dengan atribut keilmuan dalam kerangka sistem sosial dengan sistem ekologi. Hal yang menjadi menarik juga adalah latar belakang keilmuan kedua penulis adalah di bidang ilmu politik murni yang lebih lebih menunjukkan kecenderungan kajian akan dianggap berada dalam konstelasi sistem sosial.
Trend perkembangan formulasi kebijakan menunjukkkan bahwa jika dulunya kebijakan hanyalah diformulasikan untuk mengatur hubungan antar manusia atau lebih berjalan dalam sistem sosial dengan landasan filsafat yang cenderung antroposentris, maka ketika kemudian kajian kebijakan berkembang pula seiring berkembangnya landasan filsafat biosentris bahkan meluas ke ekosentris yang dibangun oleh ilmuwan-ilmuwan berlatar belakang pandangan ekologi. Landasan kebijakan yang antroposentris cenderung memandang bahwa manusia adalah pusat segala proses yang terjadi di dunia ini. Sedangkan dalam pandangan biosentris, menanamkan wacana bahwa bukan hanya manusia yang memiliki hak dalam proses semesta, tumbuhan, hewan dan semua sistem biologi juga memiliki hak karena memiliki sistem kesadaran. Wacana ekosentris meletakkan kesadaran ekologis terhadap sistem semesta. Ekosistem dengan atribut biologi dan fisik merupakan satu kesatuan yang harus saling menghormati keberadaan masing-masing. Maka dengan demikian dapat dikemukakan bahwa dasar ulasan ini adalah mencoba menggali lebih dalam nilai universalitas dalam pluralitas sumber-sumber masukan yang menjadi argumentasi Craft dan Howlett (2012) dalam policy advisory system yang diuraikan di artikel tersebut.
Menjembatani kajian formulasi kebijakan antara sistem sosial dengan sistem ekologi merupakan tantangan yang menarik. Sebuah judul artikel yang ditulis oleh Agrawal dan Ostrom (2006) memberikan contoh yang sangat inspiratif sekaligus konfrontatif yaitu, “Political Science and Conservation Biology : A Dialog of The Deaf”, ilmu politik dan biologi konservasi diberikan atribut sebagai dialog antara orang-orang tuli. Akan tetapi isi tulisan Agrawal dan Ostrom (2006) ini sebenarnya mengungkapkan betapa cerahnya masa depan percakapan di lingkup ilmu politik dengan biologi konservasi, meskipun memiliki latar belakang masa lalu yang kelam. Bidang transdisiplin atau antar bidang atau lintas bidang merupakan harapan untuk dikembangkan dalam menjembatani kajian formulasi kebijakan antara sistem sosial dengan sistem ekologi.
Politik ekologi merupakan produk hibrid lintas disiplin, seperti yang diungkapkan oleh Bryant dan Bailey (1997) dalam Adams dan Hutton (2007) bahwa politik ekologi melakukan analisa kondisi lingkungan atau ekologis sebagai produk dari proses sosial dan politik. Sebagai contoh dinamika yang terjadi bahwa ilmuwan konservasi yang telah berkecimpung lama dalam membangun kaidah-kaidah konservasi keanekaragaman hayati dengan nilai dan normanya, berhadapan dengan perkembangan baru pendekatan yang lebih komprehensif sebagai respon kritik ilmuwan sosial terhadap konservasi dengan pandangan bahwa pengarah perubahan lingkungan adalah sosial (Newing, 2011), aktifitas manusia (Redford dan Stearman, 1993 dalam Adams dan Hutton,2007) dan sifat infasif dan merusak dari aktifitas manusia (Struhsaker, 1999 dalam dalam Adams dan Hutton,2007). Dari semua uraian diatas, menjadi dasar pentingnya menemukan universalitas dalam argumentasi pluralitas sumber-sumber policy advisory dan menemukenali karakternya dalam kebijakan-kebijakan yang berlatar belakang sistem sosial dan sistem ekologi.
Untuk memahami universalitas dan menemukenali karakter policy advisory untuk kedua sistem dalam latar belakang kebijakan yaitu sistem sosial dan sistem ekologi, pada ulasan ini memulai dari  dua model ideal policy advising dalam artikel Craft dan Howlett (2012 : 86 ) yang diadaptasi dari Prince (2007 :179), sebagai berikut :
Tabel 1. Dua model ideal policy advising
Elemen
Menyampaikan kebenaran kepada kekuasaan (Speaking truth to power)
Berbagi kebenaran kepada beberapa pelaku yang berpengaruh (Sharing truths with multiple actors of influence)
Fokus pembuatan kebijakan
Hirarki depatemental dan portofolio vertikal
Antar departemen dan pengelolaan isu horisontal dengan jaringan eksternal dan komunitas kebijakan
Latar belakang pejabat karir senior
Eksekutif yang memiliki pengetahuan dengan keahlian di sektor kebijakan dan sejarah
Manajer generalis dengan keahlian pada proses pengambilan keputusan dan sistem
Lokus dari proses kebijakan
Relatif bermuatan lokal dalam pemerintahan, ditambah dengan dewan penasihat dan komisi negara
Terbuka terhadap kelompok dari luar, institusi penelitian, pemikir, konsultan, lembaga survei dan pusat virtual
Relasi menteri/deputi menteri
Kemitraan yang kuat dalam penyiapan proposal, mempercayai dan mengambil kebijakan sebagian besar dari aparat/pejabat
Berbagi kemitraan, mengambarkan ide dari aparat/pejabat, donor, konsultan, pelobi, pemikir, media
Kealamian policy advice
Masukan/pertimbangan yang jujur dan meyakinkan kepada menteri yang diberikan secara netral dan dengan cara terpisah
Kompetensi netral
Masukan/pertimbangan yang relatif lebih diarahkan oleh pejabat dengan cara yang lebih sesuai atau dikenakan sebelum disampaikan/ditahbiskan.
Kompetensi responsif
Profil publik aparat/pejabat
Secara umum tidak dikenali/anonim
Lebih terlihat pada kelompok, para anggota parlemen dan media
Peran aparat/pejabat pada proses kebijakan
Advisor yang meyakinkan di dalam pemerintahan dan pengamat netral di luar pemerintahan
Menawarkan panduan kepada pengambil keputusan di pemerintahan
Partisipan aktif pada diskusi kebijakan di dalam dan di luar pemerintahan
Mengelola jaringan kebijakan dan mungkin membangun kapasitas kelompok klien
Selain itu juga, anggota dari  policy advisory system dapat diorganisasikan melalui isi kebijakannya, seperti yang disampaikan Craft dan Howlett (2012 : 91) sebagai berikut :
Tabel 2. Anggota dari  policy advisory system yang diorganisasikan melalui isi kebijakannya

Jangka Pendek / reaktif
Jangka Panjang / antisipatoris
Prosedural
“Murni” politis dan masukan/pertimbangan proses kebijakan

Tradisional
Partai politik, parlemen dan komite legislatif (DPR, Konggres); badan pengatur

Seperti
Penasehat politik internal maupun eksternal ; kelompok kepentingan ; pelobi ; analis kebijakan pelayanan publik kelas menengah dan manajer kebijakan ; lembaga survei

Masukan untuk pengarahan kebijakan jangka menengah dan panjang

Tradisional
Deputi menteri, badan pusat/eksekutif ; komisi negara ; badan hukum/ pengadilan

Seperti
Lembaga, dewan dan komisi ; perusahaan ; organisasi internasional (seperti OECD, ILO, UN)
Substantive
Krisis jangka pendek dan masukan/pertimbangan pemadam kebakaran

Tradisional
Rekan-rekan politik (seperti, kabinet) ; pejabat eksekutif ; staf politik

Seperti
Perluasan staff politik kementerian atau konggres ;  kabinet dengan komite kobinet ; manajer krisis eksternal/ konsultan ; politisi strategis ; lembaga survey ; organisasi komunitas / NGO ; pelobi ; media
Pembuatan kebijakan berbasis bukti (Evidence-based policy making)

Tradisional
Badan Statistik/departemen ; penasehat kebijakan senior departemen ; unit kebijakan strategis ; komisi negara

Seperti
Lembaga pemikir (thinks tanks), penasehat ilmiah dan akademik ; inisiatif kebijakan keterbukaan data yang mendorong keterlibatan warga negara/web 2.0 ; panel pita biru
Dalam kebijakan yang berbasis sistem ekologis boleh dikatakan memiliki dimensi teknis yang besar, sehingga dalam perkembangannya sangat menyandarkan pada expertise/keahlian. Craft dan Howlett (2012) telah menyadari hal itu dengan memasukkan dimensi teknis vs politis dalam lingkungan formulasi kebijakan. Giessen et. al. (2009), dari kelompok Kebijakan Kehutanan dan Konservasi Alam Georg-August University yang banyak mengkaji kebijakan-kebijakan mengenai pengelolaan hutan serta konservasi alam menegaskan dimensi itu dalam artikelnya “ Between power and legitimacy – Discourse and expertise in forest and environmental governance”, dengan mengungkapkan pernyataan Grundmann (2009) dalam Giessen et. al. (2009) sebagai berikut ,
“The linear model of knowledge production by science and subsequent transfer and application of scientific expertise in public policy (“speaking truth to power”) support this assumption (452- 453)”
Model linear produksi pengetahuan dengan ilmu pengetahuan dan transfer berikutnya dan penerapan keahlian ilmiah dalam kebijakan publik (“speaking truth to power”)mendukung asumsi ini (452-453)
Selain sektor kehutanan, sektor geografi, juga melakukan serangkaian studi terkait relasi ilmu pengetahuan, kebijakan dan politik dalam ruang lingkup lingkungan, seperti artikel editorial Chilvers dan Evans (2009) dengan judul “Understanding networks at the science-policy interface”. Kebijakan-kebijakan mengenai pengelolaan hutan dan konservasi alam serta geografi merupakan kebijakan yang berlandaskan pemahaman terhadap sistem ekologis. Kedua artikel tersebut diatas menunjukkan keberadaan policy advisory system dalam formulasi kebijakannya yang tergambar disebut sebagai power and legitimacy (Giessen et. al. ,2009) atau science – policy interface (Chilvers dan Evans ,2009). Dan lebih jelas dalam kebijakan berlandaskan sistem sosial seperti dalam artikel Craft dan Howlett (2012), thinks thanks and knowledge – policy nexus (Nachiappan, 2013) atau expert groups (Metz,2013).
Karakter policy advisory system dalam kebijakan yang berlandaskan sistem ekologi berkembang melalui kapasitas keahlian atau expertise melalui model policy advising speaking truth to power. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, dengan memahami teori eksternalisasi dalam policy advice yang disampaikan oleh Vesely (2013) dengan proses eksternalisasi dan filling in, tampaknya kebijakan yang berlandaskan sistem ekologi pun juga menunjukkan keberadaan karakter model speaking truth to power” maupun “sharing truths with multiple actors of influence”. Contoh nyata di Indonesia dengan adanya fenomena pengangkatan tenaga ahli (lebih banyak berperan seperti konsultan) maupun staf ahli (pejabat struktural setingkat eselon I) pada kementerian kehutanan (kabinet) yang biasanya diangkat dari kalangan akademik atau institusi riset. Tenaga ahli dan staf ahli ini banyak berperan dalam formulasi kebijakan di kementerian.
Dual karakter dalam policy advice, seperti tersebut diatas menimbulkan pengaruh sebagai dual dynamics dalam policy advisory system seperti yang diungkapkan oleh Craft dan Howlett (2013). Hal ini memerlukan kajian lebih mendalam karena kekhawatiran ini juga telah menimbulkan perdebatan dalam kajian kebijakan berlandaskan sistem ekologis dengan keberadaan trend “the scientification of politics and politicisation of science” (Kleinschmit et. al., 2009 dalam Giessen et. al. ,2009).
Dari semua uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa policy advisory system yang disampaikan Craft dan Howlett (2012) memiliki pemahaman universal pada formulasi kebijakan baik yang berlandaskan sistem sosial maupun sistem ekologis karena keberadaan policy advisory system dapat ditemukan pada kajian-kajian hubungan dan formulasi kebijakan di kedua sistem tersebut dengan berbagai macam istilah. Karakter model policy advising memiliki dual karakter yang harus ditambahkan sebagai kajian baru secara mendalam tidak hanya dalam kebijakan yang berlandaskan sistem sosial yang sudah dimulai oleh Vesely (2013) maupun Craft dan Howlett (2013),  tapi juga yang berlandaskan sistem ekologis seperti trend yang disampaikan oleh Kleinschmit et. al. (2009) dalam Giessen et. al. (2009).



DAFTAR PUSTAKA

Adams, William,M., Hutton, Jon.2007.People, Parks and Poverty : Political Ecology and Biodiversity Conservation. Conservation and Society Volume 5 No. 2 , 147 – 183.
Agrawal, Arun., Ostrom, Elinor .2006.Political Science and Conservation Biologi : A Dialog of The Deaf. Conservation Biology Volume 20 No. 3 , 681 – 682.
Arnost, Vesely.2013. Externalization of Policy Advice : Theory, Methodology and Evidence. Policy and Society (32). hal 199 – 209
Chilvers, Jason,. Evans, James.2009. Understanding Networks at The Science – Policy Interface. Geoforum (40). hal 355 – 362
Craft, Jonathan., Howlett, Michael.2012. Policy Formulation, Governance Shift and Policy Influence : Location and Content in Policy Advisory Systems. Journal of Public Policy (32), 2, hal 79 – 98.Cambridge University Press
Craft, Jonathan., Howlett, Michael.2013. The Dual Dynamic of Policy Advisory Systems : The Impact of Externalization and Politicization on Policy Advice. Policy and Society (32). hal 187 – 197
Giessen, Lukas., Kleinschmit, Daniela., Bocher, Michael.2009. Between Power and Legitimacy – Discourse and Expertise in Forest and Environmental Governance. Forest Policy and Economics (32). hal 452 - 453
Metz, Julia.2013. Expert Group in The European Union : A Sui Generis Phenomenon?. Policy and Society (32). hal 187 – 197
Nachiappan, Karthik.2013. Thinks tanks and The Knowledge – Policy Nexus in China. Policy and Society (32). hal 255 - 265
Newing, Helen.2011.Conducting Research in Conservation. Social Science Methods and Practice.Routledge. London and New York.

CABAK KOTA (Caprimulgus affinis), PENGHIAS LANGIT MALAM DI CAGAR ALAM TELUK APAR



CABAK KOTA (Caprimulgus affinis), PENGHIAS LANGIT MALAM
DI CAGAR ALAM TELUK APAR 
Oleh
Danang Anggoro *)  
Tim monitoring burung Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA Kalimantan Timur, pada medio akhir April 2013, berhasil memperoleh foto salah satu jenis burung unik di Cagar Alam Teluk Apar. Burung tersebut lebih dikenal dengan nama Cabak Kota atau dalam bahasa Inggris disebut Savannah Nightjar yang memiliki nama latin Caprimulgus affinis,Horsfield,1821. Klasifikasi ilmiah jenis ini sebagai berikut :













Jenis burung ini merupakan termasuk jenis burung yang aktif di malam hari (nocturnal). Secara morfologi burung ini berwujud mirip seekor burung hantu, hanya saja burung ini gemar tidur diatas tanah. Pada sore hari burung ini keluar dari tempat persembunyiannya dan terbang keluar untuk mencari mangsa berupa serangga. Suara burung ini sangatlah nyaring "Cheeew-eep"diulang-ulang , tetapi jarang orang dapat menemukan burungnya (birdsofjakarta, 2013). Yayasan Kutilang (2013) mendeskripsikan burung ini sebagai berikut : berukuran agak kecil (21 cm), berwarna seragam. Jantan mempunyai bulu ekor terluar putih yang khas. Garis putih pada tenggorokan terbagi dua menjadi dua bercak di samping. Betina memiliki bulu berwarna lebih merah bata, tanpa tanda putih pada ekor. Iris coklat, paruh berwarna tanduk, kaki merah buram. 

Secara umum jenis burung ini terdapat di dataran rendah, di daerah pesisir, kering terbuka serta kota besar. Kebiasaan khas cabak, pada siang hari duduk di bidang tanah dan di atas bengunan tinggi yang datar di kota-kota. Menyambar serangga sambil terbang, tertarik oleh cahaya lampu-lampu kota besar (Yayasan Kutilang,2013).  

Burung ini menyebar luas mulai dari anak-benua India, Cina selatan, Asia Tenggara, Sunda Besar, Nusa Tenggara, Sulawesi, hingga Filipina. Sering ditemui di dekat pantai, termasuk pula di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Di Jawa dan Kalimantan merupakan jenis cabak yang paling umum ditemukan. Di kawasan Wallacea, cabak kota tercatat sebagai burung penetap umum. Menghuni padang rumput, sabana, hutan terbuka, lahan budidaya, dasar sungai yang mengering, dan lain-lain. Dari ketinggian permukaan laut hingga 1.100 m dpl di Sulawesi, dan 1.500 m dpl di Flores (Wikipedia, 2013). Peta sebaran jenis Caprimulgus affinis menurut IUCN (2012), sebagai berikut :


Gambar 1. Peta sebaran Caprimulgus affinis di dunia

Jenis burung ini memiliki 10 sub spesies dengan penyebaran sebagai berikut (Yayasan Kutilang, 2013) :
  • monticolus Franklin, 1831 – Pakistan timur-laut dan India ke timur sampai Myanmar dan ke selatan sampai Thailand, Kamboja dan Vietnam selatan.
  • amoyensis Stuart Baker, 1931 – China tenggara dan Vietnam utara.
  • stictomus Swinhoe, 1863 – Taiwan.
  • griseatus Walden, 1875 – Luzon, Catanduanes, Mindoro, Sibuyan, Negros dan Cebu (Filipina utara).
  • mindanensis Mearns, 1905 – Mindanao (Filipina tenggara).
  • affinis Horsfield, 1821 – Sumatra, Kalimantan dan Jawa, ke timur sampai Lombok dan mungkin di Sulawesi selatan.
  • propinquus Riley, 1918 – Sulawesi (kemungkinan kecuali di kawasan Makasar-Sulawesi selatan).
  • undulatus Mayr, 1944 – Sunda Kecil Bagian barat : Sumbawa, Komodo dan Flores.
  • kasuidori Hachisuka, 1932 – Sunda Kecil bagian tengah: Sawu & Sumba.
  • timorensis Mayr, 1944 – Sunda Kecil Bagian timur: Alor, Timor, Roti dan Kisar. 
Status konservasi jenis burung Cabak Kota dalam IUCN redlist (2012) adalah Least Concern (LC) yang artinya adalah kategori IUCN yang diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi namun tidak masuk ke dalam kategori manapun. Kajian mengenai jenis ini memang tidak mudah dan masih sangat terbatas, sehingga masih banyak kekurangan data untuk mempelajari spesies ini lebih detail. Dengan data yang ada masih dinilai bahwa trend populasinya cenderung stabil.

Tim monitoring burung Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA Kalimantan Timur memperoleh dokumentasi keberadaan jenis burung Cabak Kota ini di kawasan Cagar Alam Teluk Apar pada saat monitoring rutin pada akhir April 2013. Burung tersebut ditemui di pinggir jalur penghubung antara Desa Lori dengan Desa Sungai Langir. Saat ditemui, sang Cabak tampak sedang istirahat di atas tanah kering yang merupakan bekas jalur aliran air yang dikikis oleh air hujan dengan alas kerikil-kerikil atau batu-batu kecil. Kondisi habitat sekitarnya berdekatan dengan hutan rawa basah yang didominasi pohon gelam dan semak-semak. Hasil dokumentasi tersebut sebagai berikut :
Gambar 2. Cabak Kota (Caprimulgus affinis) di Cagar Alam Teluk Apar

Gambar 3. Cabak Kota (Caprimulgus affinis) di Cagar Alam Teluk Apar
Untuk memastikan data identifikasi jenis burung yang ditemui, tim monitoring burung Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA Kalimantan Timur juga membuka akun unggah di website The Internet Bird Collection (http://ibc.lynxeds.com). The Internet Bird Collection merupakan gerakan nirlaba yang memiliki tujuan utama untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang avifauna di dunia. Gambaran website The Internet Bird Collection sebagai berikut :
Gambar 4. Website The Internet Bird Collection yang memuat hasil unggah foto Cabak Kota (Caprimulgus affinis) yang didokumentasikan oleh tim monitoring burung Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA Kalimantan Timur dari Cagar Alam Teluk Apar (ditandai dengan kotak bergaris merah, dengan rating yang cukup baik yaitu 3,9 dari skala maksimal 5)


Gambar 5. Tampilan foto Cabak Kota (Caprimulgus affinis) yang didokumentasikan oleh tim monitoring burung Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA Kalimantan Timur dari Cagar Alam Teluk Apar pada website The Internet Bird Collection yang dilengkapi dengan koordinat lokasi.

Website The Internet Bird Collection merupakan perpustakaan audiovisual on-line yang memuat burung-burung di seluruh dunia yang tersedia untuk kepentingan umum secara gratis. Pada awalnya sebagai media untuk memuat paling tidak satu video atau satu foto untuk tiap jenis, sedangkan untuk jangka panjangnya memuat pula bahan-bahan informasi yang menunjukkan kearagaman aspek biologi antara lain pakan, perkembangbiakan dan lain-lain untuk tiap jenis burung. Dengan bergabung pada komunitas pemerhati dan pengamat burung ini, tim monitoring burung Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA Kalimantan Timur dapat bertukar informasi dan pengetahuan dengan para ahli burung di seluruh dunia sekaligus mempromosikan potensi keanekaragaman hayati kawasan yang dikelola oleh BKSDA Kalimantan Timur. 
Semoga dengan informasi mengenai jenis burung Cabak Kota (Caprimulgus affinis) di Cagar Alam Teluk Apar ini dapat menambah wawasan mengenai keanekaragaman hayati di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Cabak Kota Sang Pemburu dalam Kegelapan. In: http:// birdsofjakarta.blogspot.com/2009/07/cabak-kota-sang-pemburu-dalam-kegelapan.html.11 Juli 2009 (diakses pada tanggal 17 Mei 2013).
Anonim.2013. Cabak Kota. In : http://id.wikipedia.org/wiki/Cabak_kota .  (diakses pada tanggal 17 Mei 2013)
Anonim.2013.Savanna Nightjar (Caprimulgus affinis). In : http://ibc.lynxeds.com /species/savanna-nightjar-caprimulgus-affinis?only=photos#photos, (diakses pada tanggal 27 Mei 2013).
BirdLife International and Natureserve .2012. Bird Species Distribution Maps of The World 2012. Caprimulgus affinis. In: IUCN 2012. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.2. In : http://www.iucnredlist.org/details/ 106002424/0 (diakses pada tanggal 17 Mei 2013).
IUCN Red List of Threatened Species.2012. Caprimulgus affinis (Savanna Nightjar). In : http://www.iucnredlist.org/details/ 106002424/0 (diakses pada tanggal 17 Mei 2013).
MacKinnon J., Phillipps K., van Balen B. 2010. Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan. Bogor. LIPI. Burung Indonesia
Yayasan Kutilang.2012. Cabak Kota. In : http://www.kutilang.or.id/burung/konservasi /cabak-kota/. 06 Desember 2012. (diakses pada tanggal 17 Mei 2013)
*) Kepala Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA Kalimantan Timur